RHEUMATOID ARTHRITIS
Rheumatoid
Arthritis (RA) merupakan penyebab tersering inflamasi sendi kronik. RA adalah
penyakit inflamasi autoimun-sistemik, progresif dan kronik yang mempengaruhi
banyak jaringan dan organ, namun pada prinsipnya merusak sendi-sendi sinovial.
Proses inflamasi ini memproduksi respons inflamasi dari sinovium (sinovitis)
sehingga menyebabkan hiperplasia sel-sel sinovium, produksi berlebih cairan
sinovial, dan terbentuknya pannus pada sinovium.
A. Patofisiologi
RA akibat reaksi autoimun dalam
jaringan sinovial yang melibatkan proses fagositosis. Dalam prosesnya,
dihasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut selanjutnya akan
memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan
akhirnya terjadi pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang.
B. Manifestasi
Klinik
RA pada umumnya sering di tangan,
sendi siku, kaki, pergelangan kaki, dan lutut. Nyeri dan bengkak pada sendi
dapat berlangsung dalam waktu terus-menerus dan semakin lama gejala keluhannya
akan semakin berat. Keadaan tertentu, gejala hanya berlangsung selama beberapa
hari dan kemudian sembuh dengan melakukan pengobatan.
C. Terapi
Farmakologi
Tujuan dari pengobatan rheumatoid
arthritis tidak hanya mengontrol gejala penyakit, tetapi juga penekanan
aktivitas penyakit untuk mencegah kerusakan permanen. Pemberian terapi
rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak, serta
meringankan kekakuan dan mencegah kerusakan sendi sehingga dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien. Penderita RA memulai pengobatan dengan DMARDs (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs)
seperti metotreksat, sulfasalazin, dan leflunomid.
DMARDs memiliki potensi untuk
mengurangi kerusakan pada sendi, mempertahankan integritas dan fungsi sendi dan
pada akhirnya mengurangi biaya perawatan dan meningkatkan produktivitas pasien
RA. Obat-obat DMARDs yang sering digunakan pada pengobatan RA adalah
metotreksat (MTX), sulfasalazin, leflunomid, klorokuin, siklosporin, dan
azatioprin.
Penanganan medik kombinasi DMARDs
dengan pemberian salisilat atau Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS) dalam
dosis terapeutik. Pemberian dalam dosis terapeutik yang penuh, obat-obat
tersebut akan memberikan efek anti-inflamasi maupun analgetik.
D. Farmakodinamik Metotreksat
Farmakodinamik
metotreksat adalah menghambat enzim dihidrofolat reduktase, dimana enzim ini
berfungsi untuk merubah asam dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat yang
digunakan sebagai pembawa gugus satu karbon sintesis nukleotida purin dan
timidilat pada proses sintesis, perbaikan, dan replikasi sel DNA. Oleh karena itu, metotreksat memiliki efek antimetabolit
yang sensitif pada sel-sel yang aktif berproliferasi, misalnya pada sel
keganasan, sel sumsum tulang, sel janin, sel mukosa bukal dan usus, serta sel
kandung kemih. Saat proliferasi sel keganasan dalam jaringan lebih besar daripada
di jaringan normal, metotreksat dapat mengganggu pertumbuhan sel ganas tersebut
tanpa menyebabkan kerusakan permanen pada jaringan normal.
Metotreksat
juga memiliki aktivitas imunosupresan yang kuat meskipun mekanisme kerjanya
tidak jelas. Diduga obat ini dapat mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh.
Berdasarkan hasil penelitian, reaksi invitro metotreksat menyebabkan
pengambilan prekursor DNA terhambat karena distimulasi oleh sel mononuklear.
Selain itu ditemukan pula gambaran sel yang mengalami koreksi parsial
poliartritis dari hiporesponsivitas sel limpa dan penekanan produksi
interleukin II. Karena efek imunosupresan ini, metotreksat dapat digunakan
untuk mengobati gejala berat rheumatoid
arthritis.
E. Farmakokinetik
Metotreksat
Metotreksat
diabsorpsi tergantung pada dosis yang diberikan, secara umum diserap baik di
saluran pencernaan dengan bioavailabilitas rata-rata sekitar 60%. Metotreksat dimetabolisme
sebagian besar di hepar dan intraseluler, dan diekskresikan melalui ginjal.
Absorpsi
Pada orang dewasa,
penyerapan metotreksat secara oral tergantung pada dosis. Level serum puncak
dicapai dalam waktu 1-2 jam. Pemberian dosis 30 mg/m2 atau kurang, metotreksat
secara umum diserap baik dengan bioavailabilitas rata-rata sekitar 60%.
Penyerapan lebih sedikit secara signifikan pada pemberian dosis >80 mg/m2,
hal ini mungkin karena efek saturasi.
Distribusi
Metotreksat setelah
pemberian intravena, volume awal yang didistribusikan sekitar 0,18 L/kg (18%
dari berat badan). Kemudian, volume tetap distribusi metotreksat adalah sekitar
0,4 hingga 0,8 L/kg (40-80% dari berat badan). Pada konsentrasi serum yang
lebih besar dari 100 mikromolar, difusi pasif menjadi jalur utama untuk mencapai
konsentrasi intraseluler yang efektif. Metotreksat dalam serum terikat pada
protein sekitar 50%, dan dapat digeser oleh berbagai senyawa lain termasuk
sulfonamida, salisilat, tetrasiklin, kloramfenikol, dan fenitoin. Metotreksat tidak menembus sawar darah
serebrospinal dalam jumlah terapeutik ketika diberikan secara oral atau
parenteral. Konsentrasi obat CSF yang tinggi dapat dicapai oleh pemberian
secara intratekal.
Metabolisme
Metabolisme metotreksat
terjadi di hepar dan intraseluler, diubah menjadi bentuk poliglutamat yang
dapat dikonversi kembali menjadi metotreksat oleh enzim hidrolase. Metotreksat
poliglutamat dalam jumlah kecil akan menetap di dalam jaringan pada waktu lama,
dan berbeda di tiap jaringan. Hal Itu menyebabkan drug of action dan retensi obat bervariasi pada
tiap sel, jaringan, dan jenis tumor. Metotreksat per oral sebagian dimetabolisme
oleh flora usus.
Waktu paruh metotreksat
adalah 3-10 jam pada pengobatan psoriasis, rheumatoid arthritis, atau
antineoplastik dosis rendah <30 mg/m2. Sedangkan pada pemberian
metotreksat dosis tinggi, waktu paruh dapat mencapai 8-15 jam.
Ekskresi
Ekskresi metotreksat
terutama melalui ginjal. Pada pemberian intravena, 80-90% dari dosis obat tanpa
metabolisme akan diekskresikan dalam waktu 24 jam. Sedangkan ekskresi melalui
empedu hanya <10% dari dosis.
PERMASALAHAN:
1. Metotreksat dalam penggunaannya
sebagai obat RA adalah sebagai imunosupresan yang dapat menurunkan sistem
kekebalan tubuh. Dengan kondisi pandemi Covid-19, dimana setiap orang dituntut
untuk memiliki sistem kekebalan tubuh yang tinggi sehingga tidak mudah terpapar
virus, maka bagaimana solusi pada penderita RA yang notabene mengonsumsi obat
imunosupresan tersebut dalam masa pandemi?
2. Pada tahapan absorpsi, pemberian
dosis 30 mg/m2 atau kurang, metotreksat secara umum diserap baik
dengan bioavailabilitas rata-rata sekitar 60%. Penyerapan lebih sedikit secara
signifikan pada pemberian dosis >80 mg/m2. Dengan dosis yang
lebih tinggi maka penyerapan atau kaitannya dengan bioavailabilitas menjadi
lebih rendah, bagaimana hal itu bisa terjadi?
3. Secara farmakokinetik pada tahapan
distribusi, penggunaan metotreksat melalui oral dan parenteral tidak dapat
menembus sawar darah serebrospinal. Lain halnya apabila diberikan secara intratekal
maka konsentrasi obat CSF (Cerebrospinal Fluid) tinggi. Apakah pemberian obat
dengan mencapai sawar darah serebrospinal dapat meningkatkan kerja obat
metotreksat?
DAFTAR
PUSTAKA
Chabib, L.,
Z. Ikawati, R. Martien, dan H. Ismail. 2016. Review Rheumatoid Arthritis :
Terapi
Farmakologi, Potensi Kurkumin dan
Analognya, serta Pengembangan Sistem Nanopartikel.
Jurnal
Pharmascience. 3(1) : 10-18.
Fauzi, A.
2019. Rheumatoid Arthritis. JK Unila.
3(1) : 167-175.
Artikel yang bermanfaat sekali terimakasih ikhsan, baiklah saya akan coba untuk menjawab permasalahan no.1,, memang benar jika metotreksat digunakan sebagai agen immunosuppresive pada golongan DMARD dan pemberian metotreksat tetap harus dilanjutkan sebagai upaya efikasi obat menuju kondisi penyembuhan pada pasien RA. dikala masa pandemi seperti sekarang tidak menutup kemungkinan upaya fisioterapi juga dilakukan terhadap pasien dan juga menjalankan terapi non farmakologi yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan fisiologis dari pasien agar tidak mudah terjangkit oleh infeksi corona virus.
ReplyDeleteTerima kasih atas jawabannya saudara Rifqi, memang dalam kondisi pandemi kita disarankan untuk olahraga rutin, terlebih ketika kita mengonsumsi obat metotreksat yg secara farmakologi bekerja menurunkan sistem kekebalan tubuh utk menimbulkan efek terapi pada penderita RA.
DeleteMantap blog nya san
ReplyDelete